27 Oktober 2011

Sumpah Pemuda, Entrepreneur dan Ekonomi


Siapa masyarakat Indonesia yang tidak mengenal Hari Sumpah Pemuda. Pasti tahu, bila pernah mengenyam pendidikan baik di tingkat Sekolah Dasar hingga di Perguruan Tinggi. Dimana Sumpah Pemuda merupakan bukti otentik bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928 Bangsa Indonesia dilahirkan, oleh karena itu seharusnya seluruh rakyat Indonesia memperingati Momentum 28 Oktober sebagai Hari Lahirnya Bangsa Indonesia, proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum Kolonialis pada saat itu, kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia Asli, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945.Namun bagaimana kondisi Bangsa Indonesia setelah 83 tahun lepas dari belenggu penjajah? Adakah bangsa ini sudah mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia seperti yang telah dicetuskan oleh para Tokoh Pemuda saat itu seperti Soegondo Djojopoespito dari Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) sebagi Ketua dan wakilnya, RM Djoko Marsaid (Jong Java),Mohammad Yamin dari Jong Sumateranen Bond, Amin Sjarifuddin (Jong Bataks Bond),Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond), R Katja Soengkana (Pemuda Indonesia), Senduk (Jong Celebes), Johanes Leimena (Jong Ambon) dan Rochjani Soe’oed (Pemuda Kaum Betawi)?. Pasti banyak juga beragam jawabannya.

Namun bila ditinjau dari tingkat kesejahteraan, pengangguran dan Kwalitas Intelektualnya (SDM) masih jauh dari apa yang diharapkan oleh para Pendiri Bangsa yang dimana Sumer Daya Alam telah mendukungnya. Apalagi ditijau dari tingkat pengangguran Bangsa ini yang merupakan salah satu masalah yang belum teratasi sampai saat ini. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY - JK), angka pengangguran memang mengalami penurunan.

Data BPS menunjukkan pada Agustus 2004, jumlah angkatan kerja yang menganggur sebanyak 10,25 juta orang atau 9,9% dari total angkatan kerja. Selama empat tahun berselang, jumlah pengangguran hanya turun menjadi 9,39 juta orang atau 8,39% dari total angkatan kerja. Penurunan angka pengangguran tersebut masih jauh di bawah target pemerintah sebesar 5,1% pada 2009.

Satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah kecenderungan naiknya pengangguran terdidik meski angka pengangguran total menurun.

Pada Agustus 2008, BPS mencatat 600.000 orang tergolong sebagai penganggur sarjana dan diploma sebesar 360.000. Bahkan,data jumlah pengangguran terdidik per Februari 2009 telah mencapai 1,1 juta orang.

Ini berarti telah terjadi peningkatan hampir dua kali lipat dari angka pada 2004 yang tercatat hanya sebesar 585.000 orang. Secara persentase pun menunjukkan peningkatan dua kali lipat,pada Februari 2009 sebesar 12%,naik dari 6% pada 2004. Masih tingginya angka pengangguran, terutama pengangguran terdidik, mengindikasikan bahwa masih terdapat banyak potensi yang bisa diberdayakan untuk meningkatkan produksi barang dan jasa nasional.

Kenaikan produksi barang dan jasa berarti pula kenaikan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang sudah relatif tinggi, tumbuh 4,5% pada 2009. Namun tingkat pertumbuhan tersebut masih dinilai kurang berkualitas bila dikaitkan dengan kemampuan menyerap tenaga kerja. Idealnya, setiap 1% pertumbuhan dapat menyerap 500.000 tenaga kerja, tapi hanya sebesar 350.000 orang yang bisa diserap.

Berangkat dari persoalan tersebut, terdapat 2 hal terpenting yang perlu diperhatikan.

1. Lulusan Perguruan Tinggi yang tidak diserap oleh pasar tenaga kerja tentu menimbulkan opportunity cost yang tinggi. Angkatan kerja ini sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menuntut ilmu. Namun setelah lulus, ilmu dan keterampilannya tidak dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah - langkah strategis supaya para penganggur terdidik dapat diberdayakan untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi sehingga dapat menciptakan kesejahteraan setidaknya bagi diri sendiri.

2. Permasalahan ekonomi bangsa Indonesia saat ini terletak pada sisi penawaran.

Pemerintah terlalu memberi perhatian terhadap sisi permintaan, yakni dengan meningkatkan konsumsi. Peningkatan konsumsi memang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, kenaikan konsumsi tidak selalu meningkatkan output domestik bila impor barang konsumsi juga meningkat. Karena itu, di samping mendorong permintaan agregat, pemerintah juga perlu mendorong penawaran agregat melalui peningkatan produksi domestik.

Di sinilah dibutuhkan para Entrepreneur Domestik untuk menghasilkan barang dan jasa agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan dapat tercapai. Kehadiran banyak Entrepreneur juga dapat memperluas kesempatan kerja sehingga dapat menekan angka pengangguran. Oleh karena itu, pemerintah dan Perguruan Tinggi mestinya berperan utama untuk mendukung lahirnya para Entrepreneur ini.

Semua pemikir di Negeri ini pasti setuju mengenai Investasi Sumber Daya Manusia (SDM) adalah kunci sukses sebuah bangsa untuk memenangi persaingan Global yang telah melanda di Negeri ini. Semua pihak juga menganjurkan, bahkan mengharuskan negara untuk menomor satukan urusan SDM sebagai program pertama dan utama. Bagaimana dengan Program SDM di Negeri ini? Apakah sudah memberikan jaminan untuk berpendidikan masyarakatnya? Pasti jawabannya beragam pula.

Seharusnya Negeri ini menerapkan Sistem Human Investment sejak lama. Sistem Human Investment merupakan Program jangka panjang yang baru bisa dipanen hasilnya 20 atau 25 tahun ke depan. Ini berarti kalau kita baru memulai investasi SDM itu sekarang, kira - kira tahun 2035 nanti Indonesia baru meraih hasilnya. Putra - putri terbaik bangsa yang disekolahkan atau dikirim ke luar negeri untuk belajar ilmu pengetahuan, sains serta teknologi baru pulang dan mulai berkarya pada tahun itu. Katakan 5 (lima) tahun kemudian mereka baru menghasilkan karyakarya yang patut dibanggakan yang mengangkat harkat dan martabat bangsa di kancah dunia. Itu berarti butuh minimal 30 tahun untuk mempersiapkan diri dalam penggodokan SDM hingga mereka benar - benar siap menghadapi derasnya arus Globalisasi di Negeri ini. Sekarang kita bertanya, sudahkah gerakan investasi SDM ini dilakukan secara masif oleh negara sejak 30 tahun lalu?

Andaikan jawabannya sudah, pertanyaan berikutnya bagaimana hasilnya? Sudahkah pantas kita menyebut SDM bangsa kita benar-benar siap menghadapi persaingan Global itu? Kalau jawabannya belum, lalu kapan dimulainya? Atau jangan - jangan para Pemimpin kita merasa tidak perlu melakukannya karena toh tidak sedikit putra - putri terbaik bangsa ini yang reputasinya serta jasanya diakui Dunia Internasional.

Siapa yang tidak bangga dengan penunjukan BJ. Habibie yang sangat dikenal oleh Bangsa German sebagai Teknokrat atau Sri Mulyani Indrawati sebagai Managing Director World Bank? Bukankah Sri Mulyani Indrawati serta sejumlah putra - putri bangsa lainnya adalah hasil dari proses panjang human investment itu? Atau jangan-jangan putra - putri terbaik Indonesia itu adalah sebuah anugerah yang secara kebetulan. Bukan hasil dari usaha keras negara yang sengaja mendesain untuk kepentingan masa depan.

Negara memiliki tanggung jawab besar dalam mempersiapkan SDM yang unggul dan kompetitif yang mampu menjawab tantangan zaman. Tanpa peran negara, mustahil putra-putri terbaik kita yang berprestasi bisa melanjutkan pendidikan dengan layak ke jenjang berikutnya. Banyak siswa - siswi berprestasi yang putus sekolah dan terpaksa bekerja seadanya karena himpitan ekonomi.

Tidak sedikit pula lulusan terbaik perguruan tinggi yang jadi pengangguran karena tidak diterima bekerja di perusahaan atau menjadi PNS. Sarjana - sarjana yang potensial melanjutkan kuliah ke tingkat Master maupun Doktoral justru banyak mendapat beasiswa dari pihak swasta atau lembaga - lembaga asing di luar negeri. Beasiswa yang diberikan institusi pemerintah dalam negeri justru sangat terbatas jika dibandingkan dengan yang diberikan pihak asing.

Di level dasar dan menengah pun kondisinya tak jauh beda. Para orang tua sudah dibuat pusing ketika menghadapi tahun ajaran baru. Modal nilai bagus saja tidak cukup untuk mendapatkan sekolah yang diidamkan. Bagi anak yang ingin masuk ke sekolah negeri favorit antreannya luar biasa panjang. Kalau mau masuk sekolah swasta sudah ciut nyali karena biayanya yang tidak terjangkau.

Jadi dilematis sehingga siswa berprestasi harus puas dengan sekolah yang tidak favorit karena kalah bersaing dengan siswasiswi yang orang tuanya lebih mampu. Potret dunia pendidikan kita yang seperti itu adalah fakta yang tidak perlu kita tutup - tutupi. Saat semua dilepas bagaikan pasar bebas, siswasiswi yang tidak mampu secara finansial akan kehilangan kesempatan emas mereka untuk mendapat sekolah favorit.

Sementara tidak ada rumus bahwa biaya sekolah akan turun, tapi selalu naik setiap tahun jauh melampaui kenaikan gaji PNS, anggota TNI - Polri, pensiunan atau buruh. Anggaran pendidikan 20% belum bisa menjawab semua tantangan itu. Sekolah gratis belum bisa menampung jumlah siswa - siswi di seluruh penjuru Tanah Air yang kurang mampu.Pendidikan tinggi masih menjadi barang yang mewah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Momentum Hari Pendidikan Nasional ini harus menjadi dasar bagi para pemimpin untuk segera mengambil tindakan besar agar kita tidak semakin tertinggal dengan SDM bangsa lain. Paling tidak kita ingin agar negara bisa berperan lebih besar dalam mengupayakan SDM yang unggul dan berkualitas yang akan menjadi tumpuan di masa depan. Apa gunanya kita mati-matian mendatangkan investasi dari luar negeri, sementara kita tidak bisa menggunakannya untuk sesuatu yang urgen dan diperlukan masyarakat. Bahkan seluruh Tambang dan kekayaan Alam seperti Freeport dan Tambang Migas Negeri ini dikuasai sepenuhnya oleh Asing dan hanya secuil hasilnya diberikan untuk masyarakatnya? Jangankan para pendahulu kita yang mendirikan republik ini kecewa, kita yang saat ini ikut menikmati hasil perjuangan para pendahulu kita atau bahkan Kakek, Nenek, Ayah, Ibu kita juga ikut kecewa, dimana para pengelola negeri ini selalu mendahulukan konsensus Partai, Golongan untuk kepentingan pribadi dan mengenyampingkan kepentingan Bangsanya. Sehingga hati nurani sudah benar - benar mati kebal Kritik. Sampai kapan negeri ini akan terjajah terus yang dulunya oleh para Imperrialis kini dijajah oleh bangsanya sendiri. Jawabannya ada di benak masing - masing. Wallahu A'lam Bishwab.

Tidak ada komentar: